Goodbye, Things — A Book that Changed Me; not completely yet.

Getting rid of things is fun, actually

Neila Magfira
6 min readApr 19, 2020
Goodbye, things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang — Fumio Sasaki

Bagi saya buku ini sungguh ajaib! Hebatnya lagi, buku ini sanggup memberikan dorongan emosional kepada saya untuk melakukan apa yang yang selama ini saya khawatirkan dan tidak bisa saya lakukan.

Goodbye, things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang adalah sebuah buku yang berisi cerita tentang bagaimana perjalanan Fumio Sasaki (sang penulis buku) berpindah gaya hidup dari maksimalis ke minimalis. Berisi tentang pemikiran-pemikiran sederhana terkait kepemilikan benda-benda dan kelegaan yang ia dapatkan setelah menerapkan gaya hidup minimalis.

Mungkin bagi sebagian orang, gaya hidup minimalis terlihat tidak menarik. Pada umumnya, orang mengartikan minimalis adalah gaya hidup yang membatasi kepemilikan atas barang-barang, yang sepertinya tidaklah sesuai dengan norma dan budaya yang biasanya kita temui.

Bisakah kamu membayangkan harus pergi ke pesta pernikahan dengan baju yang itu-itu saja? Atau memposting foto di sosial media dengan pakaian yang itu-itu saja? Atau, didalam rumahmu hanya terdapat satu buah laptop yang digunakan sebagai komputer, tv, dan pemutar musik sekaligus?

Ketika saya membaca buku ini, saya seakan-akan mendapati diri saya sendiri yang dideskripsikan didalamnya, seperti: a) saya adalah orang yang berantakan dan tidak teratur, b) saya termasuk malas untuk berberes barang-barang yang saya punya, c) saya suka berdalih kalau saya terlalu lelah dan tidak bersemangat untuk bekerja dan membereskan semua barang saya.

Dari dulu, saya berpikir bahwa saya memang orang yang berantakan dan tidak pintar berbenah. Setelah membaca buku ini, saya menemukan bahwa saya bukannya tidak pintar berbenah, tetapi saya mempunyai terlalu banyak barang untuk dibenahi. Pikiran ini sendiri sudah tentunya membuat saya lelah dan tidak bersemangat untuk memulai beres-beres, hingga akhirnya saya memilih untuk membiarkannya, berharap barang-barang tersebut dengan ajaibnya akan tersusun rapi sendiri.

Banyak hal dari buku ini yang terasa sangat personal bagi saya, salah satunya ketika penulis mengatakan “Kita sering menyimpan barang-barang yang tidak diperlukan hanya karena kenangan yang melekat pada barang tersebut”. Pernyataan ini sungguh sangat menohok untuk saya, karena bisa dibilang saya adalah orang yang seperti itu.

Saya selalu menyimpan semua benda-benda yang diberikan, saya bahkan menyimpan semua kertas pembungkus kado ulang tahun yang saya dapatkan. Beberapa dari benda-benda tersebut sudah rusak dan tidak dapat digunakan kembali, tetapi saya masih saja tetap menyimpannya, beralasan karena benda tersebut adalah pemberian teman yang tidak mungkin saya buang.

Jika dikategorikan, saya termasuk seorang maksimalis. Orang yang sangat rajin menyimpan barang, apapun itu, bahkan hal-hal tidak penting seperti, isi staples, kertas penuh coret-coretan tidak terpakai, kancing baju yang lepas tapi tidak dipasang kembali, peniti yang sudah berkarat, invoice belanja yang seharusnya dimasukkan ke tong sampah, hingga kota-kotak kardus pembungkus barang-barang yang saya beli.

Saya menyimpan barang-barang tersebut dengan asumsi bahwa di masa depan, saya akan menggunakannya kembali atau suatu saat akan diperlukan. Tapi nyatanya, saya tidak pernah benar-benar menggunakan bahkan mencari barang-barang tersebut. Saya selalu saja berakhir dengan membeli barang yang baru, menambah tumpukan benda di lemari saya.

Dalam buku ini, dikatakan bahwa menyimpan banyak barang tidak hanya berpengaruh terhadap menyempitnya ruang gerak tetapi juga cukup mempengaruhi sisi emosional pemiliknya. Dengan memasukkan benda baru ke dalam rumah, maka kita dengan sengaja mengurangi ruang gerak yang kita punya untuk meletakkan atau menyimpan barang tersebut. Lalu, tanpa sadar, kita juga menambah beban pikiran karena sekarang ada barang baru yang harus dirawat dan dibersihkan secara rutin. Dan saya rasa, pernyataan ini memang ada benarnya.

Setiap lembaran halaman yang saya baca terasa seperti tamparan halus yang menyadarkan saya bahwa ada hal penting yang harus mulai saya ubah. Dimulai dengan membuang barang-barang yang memang benar-benar tidak saya perlukan dan gunakan kembali.

Sejauh ini, saya baru membereskan satu dari tiga lemari yang saya punya, dan ini adalah lemari paling kecil. Saat berbenah, saya menemukan hampir 60% dari isi lemari saya adalah benda-benda yang tidak saya perlukan dan gunakan. Tetapi, tetap saja saya belum bisa membuang barang-barang pemberian yang ada; masih terasa berat bagi saya. Akhirnya, saya memilih untuk tetap menyimpan berbagai gantungan kunci, boneka-boneka kecil, dompet-dompet kecil, dan beberapa stiker yang semuanya merupakan pemberian.

Saya akui hal ini sungguh tidak mudah dijalani, agak canggung ketika saya melihat lemari saya kosong melompong; tidak penuh berisi seperti biasanya. Tempat penyimpanan alat make up dan skincare saya mengecil, menjadi 1/3 dari biasanya. Di atas lemari tidak ada lagi berserakan berbagai macam peralatan kecil, kertas, pulpen dan barang-barang yang biasanya saya tumpuk begitu saja.

Tetapi, pengalaman baru yang saya dapatkan adalah entah mengapa saya merasa lega, sangat lega. Dengan jumlah barang yang sedikit, lemari saya tetap tertata rapi. Saya bahkan tidak lagi mengeluh ketika harus membereskan barang-barang yang saya punya, semuanya tersusun rapi dan cantik. Padahal biasanya, untuk saya, lemari yang tersusun rapi itu hanya bertahan paling lama dua hari — sedangkan hal ini sudah berlangsung selama hampir seminggu — dan saya takjub dengan perubahan kecil yang saya alami ini.

Masih ada dua lemari yang harus saya bereskan, lemari baju dan lemari buku. Saya tahu, ketika saya mulai membereskan dua lemari ini, saya akan benar-benar berperang melawan ego saya sendiri, dan hal ini tentunya tidak akan mudah. Saya sadar saya menyimpan banyaaaak sekali baju-baju yang bahkan tidak lagi saya pakai hanya karena baju tersebut mempunyai sebuah kenangan. Akan berat bagi saya untuk membuang atau memberikan baju-baju tersebut kepada orang lain.

Padahal, kalau memang sebuah kenangan itu penting, otak saya akan menyimpan kenangan tersebut ke dalam ingatan jangka panjang. Yang berarti, bahkan tanpa melihat benda yang terkait dengan kenangan tersebut, saya dengan mudah dapat mengingat kembali kenangan-kenangan yang ada itu.

Lain halnya jika saya harus membereskan lemari buku. Daripada dianggap sebagai kutu buku, mungkin saya lebih pas disebut sebagai kolektor buku — orang yang hobinya mengkoleksi banyak buku. Saya suka sekali membeli buku, tetapi sering berdalih tidak ada waktu untuk membacanya.

Bahkan beberapa buku yang saya punya hanya terbaca setengahnya saja, tanpa pernah saya coba selesaikan. Adapula yang benar-benar masih tak tersentuh, mulus, belum terbaca. Tetapi, saya akui saya sungguh sayang terhadap semua buku yang ada di dalam lemari tersebut, buku-buku yang saya punya bahkan tidak punya coret-coretan dan lipatan.

Membayangkan saya harus berpisah dengan koleksi buku-buku yang selama ini saya punya saja, sudah membuat saya cukup sedih dan ego saya berteriak-teriak menghalangi. Apalagi jika saya harus benar-benar memberikan atau membuang buku-buku tersebut.

Hal yang saya takutkan adalah, saya malah kalap membeli lebih banyak buku untuk menutupi kesedihan saya; karena harus berpisah dengan koleksi buku-buku yang saya punya. Jika ini terjadi, tentunya tujuan saya untuk menerapkan apa yang saya baca jadi tidak tercapai, dan sebaliknya mendorong saya untuk menjadi lebih implusif dan masksimalis dalam hal mengoleksi buku.

Saya akui, saya mempunyai ikatan emosional yang kuat dengan beberapa benda yang saya simpan, kebanyakan memang menyimpan kenangan yang ingin saya jaga. Ikatan emosional inilah yang membuat saya masih susah untuk langsung membuang barang-barang yang tidak saya gunakan dan perlukan.

Buku ini bagi saya tidak hanya sebagai pengingat, tetapi juga memberikan dorongan emosional yang kuat agar saya mau mencoba apa yang tertulis di dalamnya. Walaupun belum sepenuhnya menjadi seorang minimalis, setidaknya saya sudah memulai satu langkah kecil untuk menuju ke sana.

Perjalanan saya masih panjang, tentunya. Masih ada banyak hal yang harus saya benahi dan pelajari tentang konsep hidup minimalis dan pengaplikasiannya.

Dan tak lupa, saya ingin berterimakasih kepada Fadhil Mahdi sudah mau meminjamkan buku ini ke saya.

Untuk kalian yang membaca tulisan saya ini, jikalau ada waktu, silahkan mampir ke Toko Buku untuk membelinya, atau bisa dipesan secara daring melalui platform belanja online yang ramai saat ini.

Sekian dari saya, semoga tulisan ini ada manfaatnya ya setelah dibaca. Terimakasih sudah membaca sampai akhir.

Pontianak, 20 April 2020 — Neila

--

--

Neila Magfira
Neila Magfira

Written by Neila Magfira

Occasional writer based on mood. ✨ Enjoys binge-watching films and learning new things. 🎬 Believes in ‘Happiness is simple.’ 🤗

No responses yet