I do Matter, So You too.
Sebuah tulisan refleksi bahwa setiap kita adalah prioritas diri masing-masing.
Semua orang yang mengenal saya pasti mengerti bahwa saya punya sifat untuk menjadi “Yes Man” atau jadi people pleaser. Jika mau di throwback kembali, saya adalah tipikal manusia yang mengutamakan kepentingan orang lain terlebih dahulu daripada kepentingan diri sendiri, bukan hanya orang lain, kadang bahkan organisasi dan kelompok juga.
Saya adalah orang yang selalu berkata “Iya” kalau disuruh berkorban uang, tenaga, bahkan waktu. Selalu menjawab “Gapapa, kok,” walaupun sebenarnya keberatan. Dan saya adalah orang yang mungkin selalu dianggap enteng oleh beberapa orang karena kelihatannya saya akan selalu “Iya-iya aja” dan akan selalu ada, alias tidak kemana-mana. People take me easy-peasy, karena tahu kalau saya anaknya nurutan dan tidak bisa marah, apalagi sampai teriak-teriak begitu.
There was a time when I decided to prioritize others over myself, and honestly, it was exhausting and painful.
Mungkin karena love language saya yang lumayan dominan adalah “Acts of Service,” jadi saya menormalisasi bahwa sayalah yang harus berkorban, sayalah yang harus berusaha, atau melakukan hal tersebut agar keinginan/goals orang lain tercapai. Saya sampai pernah memiliki mindset, “Gapapa aku yang usaha, aku yang sakit, yang penting orang lain bahagia.” Yep! That was me, a quite long time ago.
Setelah sekian lama merasa terlalu banyak mengorbankan diri, akhirnya saya menyadari bahwa untuk membantu orang lain, saya juga perlu membantu diri sendiri terlebih dahulu. Ini bukanlah tanda egoisme atau ketidakpedulian terhadap orang lain. Malah sebalikan, saya melakukan ini untuk menjaga keseimbangan hidup dan kewarasan diri saya sendiri.
“Bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik kepada orang lain jika kita sendiri tidak dalam kondisi yang baik?”
“Bagaimana kita bisa memenuhi kebutuhan dan kebahagiaan orang lain jika kita sendiri terlalu lelah atau terluka?”
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendorong saya untuk mulai menjadikan diri saya sebagai prioritas.
Menempatkan diri sendiri sebagai prioritas bukan berarti kita menjadi egois atau tidak perduli dengan orang lain. Tetapi, itu berarti kita mengakui bahwa diri kita sendiri adalah penting.
Jadi ingat, ketika kita naik pesawat saat ada instruksi gawat darurat, pramugari selalu mengingatkan kita untuk mengenakan masker oksigen terlebih dahulu sebelum membantu orang lain. Yap, dan hal ini juga berlaku dalam kehidupan kita sehari-hari.
Saya rasa, ketika kita memberikan perhatian dan cinta kepada diri kita sendiri, kita akan menjadi lebih kuat dan mampu memberikan lebih banyak hal-hal baik pada orang lain.
Kita dapat memberikan dukungan yang lebih baik, menjadi teman yang lebih menyenangkan, dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang.
Saya belajar untuk mengatakan “tidak” ketika saya merasa terlalu lelah atau terlalu sibuk. Saya belajar untuk menetapkan batasan dalam hubungan pertemanan dan aktivitas saya sehari-hari. Saya belajar untuk mendengarkan diri sendiri dan menghormati kebutuhan dan keinginan pribadi saya.
Dan yang paling penting, saya menyadari bahwa saya sendiri itu penting. Kesehatan fisik dan mental saya adalah hal penting. Kepuasan dan kebahagiaan saya juga penting. Dengan menjadikan diri saya sebagai prioritas, saya tidak hanya memberikan yang terbaik pada diri saya sendiri, tetapi juga pada orang-orang terdekat saya.
Jadi, mari kita ingat bersama-sama bahwa kita juga “matter.” Kita juga berhak untuk merasa bahagia, sehat, dan puas. Saya rasa, ketika kita merawat diri kita sendiri dengan baik, kita bisa menjadi sumber kebaikan untuk orang-orang di sekitar kita.
Untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin bilang bahwa, “I do matter, so you too”. — Salam dari Neila.