Me on Finding What I called “Passion”
Passion itu nggak enak, yang enak itu coklat dan indomie rebus pake telor pas hujan.
Sejujurnya saya masih sering mendengar pernyataan yang mengglorifikasi “passion” dan kerja. “Kerja tuh sesuai passion, enak! Udahlah ngerjain hal yang disuka terus dibayar. Enak banget, kan?”, atau pernyataan kayak gini “Aku tuh nggak passionate sama kerja kantoran, keknya aku cocoknya jadi pebisnis, deh!”.
Oh, tak lupa juga kalau kebanyakan dari kita selalu menganggap bahwa passion = hobi, sehingga kerja sesuai passion adalah kerja sesuai hobi. Kalau kamu hobinya motret, kerjaan yang sesuai passion adalah fotografer. Kalau hobi menulis, kerjaan yang sesuai passion adalah content writer, novelis, atau cerpenis. Pokoknya jadikan hobi kamu sebagai cuan, cuan, cuan dan kaya raya. *Njir, mudah dan enak banget ya, kedengerannya.
Yah, gini-gini saya dulu juga beranggapan seperti itu, kok. Makanya pernah punya keinginan buat jadi graphic designer (karbitan) dan hand lettering artist karena ngerasa punya passion di desain dan hand lettering.
Buktinya? Yang saya sebut passion ini ternyata nggak bertahan lebih dari dua tahun. Malah sekarang peralatan hand lettering saya terbengkalai berdebu di rak lemari paling bawah. Mimpi jadi graphic designer-nya gimana? Jangan ditanya! Dah lah, pokoknya saya canva user gratisan, itu aja sering gagap sendiri makenya 🙃.
Oke bhaiq! Mari kita pindah cerita tentang kerja dan passion lainnya, yaitu dunia tulis menulis. Dari dulu sampai sekarang saya memang suka nulis, dari nulis blog, nulis jurnal, sampai nulis caption ige (hahahaha). Yah, menuangkan isi kepala ke tulisan bagi saya terasa lebih mudah dan melegakan. Berbekal hobi “menulis” ini, mulailah saya pindah profesi jadi content writer.
Awalnya gimana? Seneng nggak? Sejujurnya sih, enggak! Wkwkwkwk. Ya, gimana, selama ini sukanya nulis tentang isi kepala sendiri. Nggak perlu dikoreksi sama editor, nggak perlu menulis sesuai brief. Lah, sekalinya jadi content writer ternyata tulisannya punya aturan dan kriteria, dong.
Langsung kena mental breakdown awal-awal 🥲. Anak baru freelance, dapat orderan nulis artikel 2000 kata. Udahlah nulisnya ngabisin waktu 2 hari, pakai mikir, ditambah riset sampai overwhelmed informasi. Eh, begitu dikasih ke editor, revisinya lebih dari 99+ (ngalah-ngalahin jumlah barang di keranjang shopee). Mo nangis banget itu liat revisian, berasa banget bodohnya. Sampai mempertanyakan diri sendiri, “Dulu saya bisa lulus UN Bahasa Indonesia gimana ceritanya, ya?”.
Unexpectedly, saya kerja jadi content writer lebih dari setahun, dan selama itu juga ternyata saya menemukan hal yang I’m passionate about, yaitu “belajar”.
Wkwkwk. Mungkin karena anaknya dari kecil emang udah dibiasakan buat belajar muluk, dari ikut les ini itu, sampe masuk sekolah yang kegiatan belajarnya dari pagi sampe malam. *Emang udah gini anaknya dari sononya, wkwkwk.
Daripada suka sama satu hal terus menerus, ternyata saya emang menikmati proses belajarnya. Makanya saya pernah ngerasa passionate sama hand lettering, fotografi, masak memasak, traveling, sampe baca buku. But, it turns out I just like the learning process, wkwkwkwk. Eh, jangan salah, saya bahkan pernah mengira kalau passion saya adalah Bahasa Inggris, yang ternyata ya bukan juga 🤣🤣🤣.
Kerja jadi content writer memaksa saya untuk belajar terus menerus. Nggak cuman belajar tentang cara menulis, tapi belajar tentang isi tulisan itu sendiri. Ditambah lagi seiring waktu saya tiba-tiba punya tambahan role kerjaan jadi seorang project manager sekaligus social media specialist. Wah, jelas tuntutan belajarnya nambah, dong.
Dan perjalanan karir ini mempertemukan saya dengan digital marketing. Dunia yang memaksa saya untuk belajar terus menerus, ditambah lagi yang dipelajari itu banyaaaaak sekali. Nggak cuman belajar tentang marketing saja, saya juga harus belajar tentang bisnis, analisa data, copywriting, SEO, konten, perilaku manusia, bahkan sampai mempelajari teknologi terbaru untuk marketing (Google Ads, FB Ads, Tiktok Ads).
Turns out, I do enjoy my learning adventure. Discovering new things, adding new skill, upgrading myself. Pokoknya suka dan senang sekali lah kalau disuruh belajar, nih. Apalagi hasilnya ternyata bikin diri sendiri pinter dan kompeten, wkwkwkwk.
Yah, bisa dibayangkan dong, anak yang passionate dengan belajar bertemu dengan dunia dan pekerjaan yang mengharuskan dia belajar terus menerus jadinya gimana? Tentu saja jadi jodoh (kerjaan), wkwkwk.
That’s the reason why I choose shifting my career to digital marketer. Karena saya paham benar kalau saya menyukai dan menikmati proses yang saya jalani.
Tapi nggak selamanya I do enjoy my learning process. Ada kalanya saya juga burnout, overwhelmed, stress, nangis, ngeluh, dan pengen berhenti aja. I dooooooooo feel that too. Namanya juga kerja kan, namanya juga belajar kan, nggak bakalan isinya enak-enak aja. Kayak dua mata koin yang bersisian lah, ada enaknya ada nggak enaknya juga.
But, I always find myself coming back to my learning adventure.
Walau udah stress gilak, udah overwhelmed, udah burnout, ternyata saya tetep memilih buat nyelesein prosesnya. Saya memilih buat nyelesein apa yang saya mulai pelajari. Learning always my favorite things to do, whatever it takes.
And that’s how I found my passion.
*On serious note: punya passion belajar itu bukan karena saya pinter, cuman anaknya memang keras kepala, aja. Saking keras kepalanya, apa-apa tuh mau dicobain, mau diusahain, mau dikerjain. Walaupun itu susah dan nggak tahu sekalipun. Udah, itu doang.
Jadi, balik lagi ngomongin tentang passion.
Passion buat saya bukan cuman sekedar hobi, bukan cuman sekedar senang, bukan cuman sekedar mudah.
Passion buat saya adalah hal yang memang saya nikmati untuk dilakukan, tantangan yang ingin saya taklukkan, hal yang menarik untuk saya kulik walaupun tahu kalau itu susah.
Passion buat saya adalah hal yang masuk ke prioritas to-do list.
Terakhir, passion itu bumbu agar saya bisa menikmati kerjaan saya walau bisa aja berakhir nangis, kecewa, dan nggak sesuai harapan.
I have found my passion in my career. How about you?